Berpuasa bisa
dibilang keunikan yang tiada tara dalam berkehidupan. Satu ritual yang
mendekatkan diri kita sebagai makhluk kepada Sang Pencipta. Atau satu
langkah bagi kita dalam berproses di kehidupan yang nyata. Sama seperti
doa, puasa adalah upaya kita memohon ampunan dan dibersihkan dari
lumuran dosa yang telah diperbuat. Sehingga, apabila puasa kita
diterima, Tuhan tidak segan-segan memberikan ampunan dan hidayahnya
kepada kita yang telah menjalankan puasa sesuai dengan waktunya.
Puasa Ramadhan adalah perintah yang wajib
dijalankan oleh umat Islam dan digariskan dalam perintah Allah melalui
Al Qur’an. Puasa senin kamis adalah sela diantara kewajiban, boleh
dijalankan atau tidak. Puasa-puasa yang lainnya juga demikian. Puasa 40
hari secara tradisi oleh sebagai masyarakat kita dijalankan untuk
mengolah diri menjadi makhluk yang lebih baik dari yang lainnya. Juga
puasa mutih –puasa yang hanya makan nasi putih dan minum air putih.
Apapun caranya, berpuasa lebih berpotensi
untuk menjadi katalisator dalam mengeremnafsu diri. Kita disarankan
untuk tidak mengembangkan nafsu makan yang besar, karena lebih berat
bahayanya bagi kesehatan tubuh. Begitu juga dengan nafsu mata, telinga,
hati dan yang lainnya. Penurunan tensi keinginan dari yang sehari-hari
kita jalankan menjadikan kita lebih baik dapat melihat kondisi semuanya
dari awal. Bacaannya dalam kondisi ini adalah segala sesuatu yang
berlebihan tidaklah baik. Keinginan yang terlalu over, akan berdampak
buruk bagi sirkulasi aura diri kita sendiri. Keinginan-keinginan yang
tidak jelas akan membuat diri kita terpuruk, karena beban yang
dipanggulnya ternyata lebih besar harapan daripada kenyataan.
Dampak dari pengereman diri ini akan membuat
diri kita menjadi lebih terkontrol. Setiap langkah akan lebih
bermanfaat, karena kalkulasi dari langkah-langkah tersebut akan membawa
diri kita ke arah yang lebih benar. Benar dalam pengertian, setiap
keputusan yang diambil berdasar kalkulasi yang sudah matang dan
terencana. Tidak ada keragu-raguan maupun kecerobohan. Tidak ada yang
diluarperkiraan ataupun yang kurang dari perkiraan. Semuanya sesuai
dengan estimasi yang sempurna.
Berpuasa memang dapat menjadi penenang.
Namun menempuh proses berpuasa itu kerap menjadi batu sandungan
tersendiri bagi manusia yang menjalankan. Kenapa? Karena berpuasa
dianggap berada diluar pakem cara kita berhidup. Wong kita ingin
menjalankan kehidupan yang sesungguhnya kok mesti direm? Kapan kita
menikmati hidup?
Penilaian-penilaian seperti itu seringkali
muncul dari mereka yang merasa keberatan dengan cara berpuasa ini.
Berpuasa lebih dinilai sebagai sesuatu yang memberatkan diri. Jangankan
memandang puasa yang wajib dilakukan sebulan penuh, puasa selama sehari
atau dua hari dalam sepekan pun masih dianggap berat. Kenapa? Karena
kehidupan telah menaikan derajat setiap makhluk ke singgasananya
masing-masing. Terlalu tinggi dan enak untuk dinikmati. Setiap saat kita
bisa makan dan minum sepuasnya. Setiap saat, mata dan telinga dapat
dipakai sepuasnya. Setiap saat, nafsu diri dapat diatur semaunya. Setiap
saat semuanya bisa kita atur dan nikmati. Kalau sudah indah begini,
siapa yang mau menghentikannya.
Bila puasa tidak dipandang sebagai acuan
untuk beragama, belum tentu semua umat akan mematuhinya. Namun,
indahnya, puasa dijadikan sya’riat untuk menjalankan ibadah. Bila
demikian tentu ada maksudnya bukan? Nah, itulah yang mesti kita cari
dalam menjalan puasa kali ini. Puasa sebulan tidak lebih berat
dibandingkan kaum pinggiran yang tinggaldi bawah jembatan dan harus
makan sekali dalam sehari atau bahkan tidak sama sekali. Berpuasa yang
wajib tidak lebih berat dibandingkan mereka yang harus kehilangan rumah
dan harta bendanya akibat musibah gempa atau tsunami. Berpuasa akan
menjadi lebih ringan bila melakukannya dengan ikhlas, sama seperti kita
ikhlas bersedekah, tersenyum, tertawa, atau menyapa orang lain. Indahnya
berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar